Esai Rifka Rizkiana #1 : Tantangan di Era Disrupsi Teknologi


Inikah masa di mana fajar dan senja tak lagi berwarna? Pusaka yang dirajut tak lagi tunjukkan pesonanya, huru-hara dimana-mana, kita semua saling mengolok dan bersua itu salahmu, golonganmu, sukumu, budayamu, dan agamamu. Bukankah ini negeriku dan negerimu? 

Kemegahan gunung-gunung yang berujung menjadi gedung. Lautan dengan ombak yang terus menari, kini bereformasi menjadi reklamasi. Bahasa dan budaya yang kaya, seperti tidak berharga di mata anak muda. Bencana yang terus melanda tanpa memandang usia. Korupsi yang terus terjadi, seperti makanan sehari-hari orang berdasi. Atau bahkan isu politik yang menimbulkan konflik?


Perdebatan demi perdebatan yang tak kunjung pada keputusan. Menganggap bahwa keputusannyalah yang benar. Dan menganggap remeh pendapat sesamanya. Di mana jiwa toleransi bangsa ini? Kemanakah jiwa Bhineka Tunggal Ika yang seharusnya mendarah daging di tubuh generasi muda?

Bukankah perkembangan zaman dan teknologi seharusnya menjadi alat penyatu bangsa? Namun, apa yang terjadi saat ini? Di generasi kita ini, kecanggihan teknologi dan pesatnya arus globalisasi justru menjadi ancaman tersendiri yang mampu melunturkan khazanah asli bangsa Indonesia.

Barometer peradaban kini melaju dengan cepat dalam bingkai Revolusi Industri 4.0 (Industrial Revolution 4.0). Gempuran di berbagai ranah dan kepungan teknologi yang serba disruptif, mulai dari Internet of Things (IoT), big data, otomasi, robotika, komputasi awan, hingga inteligensi artifisial (Artificial Intelligence) berhasil menorehkan penandaan besar dalam sejarah angka 4.0 di belakang Revolusi Industri.

Globalisasi, bagaikan dua mata pisau berlawanan yang siap menghunus pemiliknya jika tidak lihai memanfaatkannya. Globalisasi memiliki pengaruh postitif yang ikut andil dalam membantu kemajuan dan berkembangnya suatu bangsa. Contoh sederhananya, dengan adanya Internet dapat mempermudah hubungan Internasional yang dapat meningkatkan taraf ekonomi bangsa dan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Seharusnya. Namun, apa yang terjadi saat ini?


Dewasa ini, pesatnya arus teknologi dan komunikasi menjadikan disrupsi budaya di mata anak muda. Lunturnya cinta terhadap budaya bangsa sangat jelas terasa di mana banyak para remaja yang mengelu-elukan oppa-oppa korea, dan lupa dengan siapa tokoh pendiri bangsa. Pertanyaannya, apa yang akan terjadi dengan Indonesia tercinta lima puluh tahun ke depan, jika generasinya tidak memiliki jiwa nasionalisme? 


Seperti kata Bung Karno, “ Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan kuguncang dunia.” Saat pertama kali mendengar pidato Bung Karno ini, mungkin kita sempat bertanya-tanya apakah mungkin dan bagaimana caranya hanya dengan sepuluh pemuda bisa mengguncangkan dunia?


Menteri Pemuda dan Olahraga RI, Imam Naharawi dalam amanatnya pada upacara Hari Sumpah Pemuda ke-88 memberikan contoh tentang hal ini. Jika kita merenung dan merefleksikan pidato Bung Karno, maka sejatinya jumlah besar saja tidaklah cukup untuk bisa membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan diperhitungkan di kancah dunia.


“Bung Karno tidak perlu menunggu bonus demografi untuk bisa memberikan kehormatan yang layak bagi bangsa dan negaranya. Bung Karno hanya membutuhkan pemuda-pemudi unggul yang memiliki kualitas dan visi yang besar dalam menatap dunia,“ demikian amanat Imam Nahrawi yang dibacakan oleh Plt Bupati Aceh Utara, Drs Muhammad Jamil M.Kes saat bertindak sebagai Pembina Upacara HSP di Lhoksukon, Jum’at (28/10).


Ketika beberapa waktu yang lalu, Indonesia berhasil mengantarkan seorang Pemuda Indonesia berusia 23 tahun bernama Rio Haryanto ke level tertinggi balap mobil internasional F.1, Indonesia baru menyadari pernyataan Bung Karno bukan isapan jempol semata, sehingga seluruh mata dunia terbelalak. Dunia balap internasional seolah tak percaya dengan kemampuan anak Indonesia yang berhasil menembus ajang balap bergengsi di dunia.


Indonesia juga memiliki anak-anak muda potensial di bidang start up yang omzetnya mengundang decak kagum pebisnis online dunia. Ada Nadiem Makarim, pendiri Go-jek, ada Achmad Zaky, CEO Bukalapak, dan ratusan CEO muda Indonesia di bidang Teknologi Informasi yang dipercaya oleh perusahaan multinasional tahun 2015, dilporkan terdapat 62 start up Indonesia yang kebanjiran dana investasi hingga puluhan triliun rupiah.

Namun kembali lagi, di Revolusi Industri 4.0 mendorong terjadinya disrupsi dalam berbagai bidang yang memberikan tantangan dan peluang, termasuk bagi generasi milenial. Saat ini kita mengalami dua disrupsi yang luar biasa, yaitu di bidang teknologi karena revolusi industri 4.0, dan gaya hidup karena adanya perubahan generasi yang menyebabkan perubahan gaya hidup. Perubahan terjadi begitu cepat akibat disrupsi. Tren perkembangan teknologi juga telah bergeser sehingga, perusahaan teknologi digital merajai ekosistem dan ekonomi dunia.

Misalnya, perusahaan General Electric (GE) dulu mampu menguasai dunia. Namun, saat ini perusahaan berbasis teknologi seperti Google, Facebook, dan lainnya lah yang menjadi penguasa ekonomi dunia. Tantangan lainnya adalah, lapangan pekerjaan menjadi semakin berkurang akibat kemajuan teknologi. Diperkirakan setidaknya ada 5 juta orang akan kehilangan pekerjaan akibat otomasi. Chairul Tanjung juga mengatakan, di era ini banyak investor asing yang masuk ke Indonesia sehingga investor lokal juga kalah bersaing. Ditambah dengan kontribusi sektor industri yang menurun. 


“ Kerenanya perlu perubahan paradigma, pola pikir di era perubahan ini,” tegasnya.

Tantangan lain di negara pluralisme dengan minat baca yang rendah seperti Indonesia ini adalah, kasus penyebaran berita bohong alias hoax yang mampu mempropagandakan golongan tertentu dengan menyudutkan satu golongan lain yang dapat memperpecah belah negeri kita sendiri.

Berdasarkan hasil survey “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada bulan Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Sedangkan berdasarkan survei UNESCO minta baca masyarakat Indonesia baru 0,001 persen. Artinya, dalam 1000 masyarakat hanya ada 1 masyarakat yang memiliki minat baca. Miris, sangat memprihatinkan bukan?

Benar kata Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Sebagai generasi emas yang hidup di era Revolusi Industri 4.0 kita seharusnya cerdas dalam menyikapi berbagai permasalahan. Mulai dari menyaring masuknya budaya asing yang sesuai dengan jiwa Pancasila, menangkal hoax dengan literasi, dan mencetak kader-kader unggul di masa depan.


Sumber Gambar : Smart-money.co